Malin, Anak Rantau yang Lupa Arah Pulang

Di sebuah kampung kecil yang sunyi di pesisir Sumatra Barat, hiduplah seorang anak laki-laki bernama Malin bersama ibunya. Malin bukan anak orang kaya


Di sebuah kampung kecil yang sunyi di pesisir Sumatra Barat, hiduplah seorang anak laki-laki bernama Malin bersama ibunya. Malin bukan anak orang kaya, tapi semangat hidupnya tinggi. Ia suka bantuin ibunya jualan kue di pasar, meski kadang lebih banyak makan kue daripada laku dijual. Ibunya, yang biasa dipanggil Mak, selalu sabar dan penuh kasih, walau sering dikerjain tingkah laku Malin yang kadang kelewat iseng.

Tapi Malin bukan cuma nakal, dia juga punya mimpi besar. Tiap malam, sambil rebahan di bale bambu depan rumah, Malin sering melamun lihat langit.

“Mak, aku mau merantau. Katanya di negeri seberang sana, rejeki bisa datang dari ombak.”

Mak cuma tersenyum, meski dalam hati agak nyesek. Ia tahu, merantau itu pilihan berat. Tapi kalau itu jalan buat masa depan anaknya, Mak pun akhirnya merelakan.

Berlayar ke Harapan

Pagi itu, Malin pamit. Ia cuma bawa satu ransel lusuh, nasi bungkus dari Mak, dan sejuta doa yang mengiringi langkahnya. Perahu nelayan yang membawanya perlahan menjauh dari dermaga. Mak berdiri mematung, memandangi bayangan anaknya yang makin kecil, lalu hilang ditelan cakrawala.

Tahun demi tahun berlalu. Malin tak pernah kirim kabar. Tak ada surat, tak ada pesan. Tapi Mak tetap setia menunggu. Setiap senja, ia duduk di tepi pantai, menatap laut lepas, berharap suatu hari anaknya pulang membawa kabar baik.

Menjadi Si Tuan Besar

Di tanah rantau, Malin bukan cuma jadi nelayan. Ia bertemu pedagang asing, belajar dagang, dan ikut kapal besar yang mengarungi samudra. Karena kepandaiannya, Malin cepat naik pangkat. Ia jadi pengusaha kaya, punya kapal sendiri, dan akhirnya menikahi putri saudagar dari negeri jauh. Bajunya kini mewah, bahasanya pun berubah. Ia tak lagi bicara dengan logat kampung.

Suatu hari, kapal besar Malin berlabuh di kampung halamannya. Ia datang untuk berdagang rempah, tapi enggan menyapa siapa pun. Ia merasa asing di tanah tempat ia lahir.

Kabar kedatangan kapal megah itu menyebar cepat. Mak yang sudah tua renta pun datang terburu-buru ke dermaga.

“Malin! Ini Mak, nak! Kau pulang juga akhirnya!”

“Siapa kau? Aku tak kenal perempuan miskin macam kau!” jawab Malin, pura-pura tak kenal, malu dilihat istri dan awak kapalnya.

Mak terdiam. Matanya berkaca-kaca, tubuhnya gemetar. Tapi bukan karena marah, melainkan sedih—sedih karena anak yang dulu ia rawat dengan cinta, kini tak sudi mengakuinya.

Dengan hati remuk, Mak berkata lirih,

“Kalau benar kau bukan anakku, maka biarlah Tuhan yang bicara.”

Langit tiba-tiba gelap. Angin mengamuk. Ombak menggila. Kapal Malin terombang-ambing. Dalam sekejap, petir menyambar dan Malin pun berubah—ia dan kapalnya menjadi batu, tertanam di pesisir pantai. Batu itu berdiri sampai hari ini, jadi pengingat bahwa durhaka pada ibu bukan sekadar salah, tapi bisa menghapus semua yang kau punya.

Setelah Semua Berlalu

Mak tak lagi duduk di pantai. Ia tak lagi menunggu. Tapi di kampung itu, anak-anak sering bertanya pada orang tuanya:

“Benarkah itu batu Malin, Ma?”

Dan orang tua mereka akan menjawab,

“Iya, itu dia. Malin, anak rantau yang lupa arah pulang.”

Pesan Moral:

Cerita ini bukan hanya tentang kutukan atau batu. Ini soal hati, tentang cinta ibu yang tak pernah habis, dan tentang pentingnya ingat asal-usul. Kita boleh merantau sejauh mana pun, tapi jangan pernah lupa siapa yang pertama kali memanggil nama kita saat baru bisa bicara.

LihatTutupKomentar
Cancel